Papua Today

Kondisi Papua yang sebenarnya….

Mengupas kebohongan Herman Wanggai

Kepulangan Dua Warga Negara Indonesia (WNI) asal Papua, Yunus Wainggai dan putrinya, Anike Wainggai, ke Indonesia, 29 Nopember 2008, setelah hampir tiga tahun berada di Australia, merupakan sepenggal kisah manusia perahu yang merupakan korban Herman Wanggai (penyelundup manusia dan menelantarkannya di Australia). Dalam perjuangannya kembali ke Indonesia, Yunus telah mendatangi Kedubes RI di Canberra Australia, 17 Nopember 2008 dan menyampaikan permintaannya agar KBRI dapat memfasilitasi niatnya untuk kembali ke Tanah Air bersama puterinya, Anike Wainggai.

Kerinduan, untuk bertemu dan berkumpul kembali dengan keluarganya merupakan alasan utama kepulangan Yunus dan Anike Wainggai. Yunus telah terlalu lama menunggu janji Herman Wanggai untuk memulangkannya serta mengganti kerugian perahunya. Yunus, yang dijanjikan Herman Wanggai akan dipulangkan setelah enam bulan dan semua kerugiannya akan diganti ternyata semua itu bohong. Yunus mengaku tidak tahu bahwa tujuan mereka ke Australia hanya dimanfaatkan oleh Herman Wainggai dan kelompoknya, untuk tujuan politik separatisme. Menyusul kembalinya ayah dan anak tersebut, istri Yunus Wanggai pada 16 Desember 2008 dari Vanuatu tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Saat itu Siti langsung berlari memeluk Anike sambil menitikkan air mata karena telah sekian lama dan kini dalpat berkumpul dengan seluruh keluarganya kembali.

Kepulangan Yunus Wainggai, Siti Pandera dan putrinya itu merupakan kepulangan yang kedua dari kelompok yang menamakan dirinya pencari suaka, menyusul kepulangan Hana Gobay dan Yubel Kareni. Karena merasa dibohongi, diterlantarkan, oleh Herman Wanggai., Hana Gobay dan Jubel Kareni kembali lalu meminta bantuan ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Melbourne dan Departemen Luar Negeri Indonesia pada 23 September 200, untuk bisa kembali ke Indonesia.

Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Departemen Luar Negeri (Deplu) Teguh Wardoyo mengatakan, Yunus Wanggai kembali ke Indonesia atas kehendaknya sendiri dan tidak ada tekanan serta paksaan apapun atau dari siapapun kepada Yunus Wanggai untuk kembali ke Tanah Air tercinta Indonesia setelah mencari suaka politik di Australia selama tiga tahun sejak tahun 2006. Deplu melalui KBRI di Australia hanya memberikan perlindungan dan memfasilitasi kepada Warga Negara Indonesia yang berkeinginan untuk kembali ke Indonesi.

Juru bicara Departemen Luar Negeri (Deplu) Teuku Faizasyah. menyatakan, dugaan yang mengatakan bahwa ada campur tangan intelijen Indonesia dalam kepulangan tersebut adalah tidak berdasar. “Keinginan mereka untuk pulang bersifat sukarela. Tanpa ada paksaan. kepulangan mereka akumulasi dari kekecewaan dan frustrasi terhadap Herman Wanggai, yang telah membohongi dan merampas uang mereka dengan memberi janji-janji indah jika sesampainya di Australia.

Tuduhan Herman Wanggai yang menyatakan intelijen terlibat dalam kepulangan Yunus Wanggai dibantah oleh aktivis OPM di Vanuatu, Andy Ayamiseba. Menurut Andy Ayamiseba keinginan Yunus, Anike, dan Siti Wanggai (istri Yunus yang menetap di Vanuatu) untuk pulang ke Indonesia murnia dari keinginannya sendiri karena kecewa dengan Herman Wanggai.

Sementara urusan Yunus dan istrinya dengan KBRI Canberra, Andy Ayamiseba melihatnya sebagai “urusan mereka sendiri (yang) disaksikan oleh Australian Authorities (pejabat pemerintah Australia) dan Pengacara Yunus sendiri.” Menurut Andy, pihak yang mewawancarai Siti Wainggai di Vanuatu adalah petugas Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) yang didampingi penerjemah berbahasa Indonesia, serta kepala imigrasi Vanuatu.

Bukti kebohongan Herman Wanggai

Merasa dibohongi, dua orang WNI pencari suaka di Australia, Hana Gobay dan Yubel Kareni akhirnya mendatangi Komisi I DPR.-RI, dan menceritakan semua kejadiannya sebagai berikut :

Saat keberangkatan untuk mencari suaka ke Australia tahun 2006 yang lalu, 43 warga itu membayar uang sebesar Rp 7 juta. Dan, keberangkatan itu merupakan kebohongan dan konspirasi politik orang-orang tertentu yang tidak senang dengan Indonesia. Intinya, mereka dijanjikan mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak. Namun setelah sampai di Australia, ke-43 warga itu berpisah dan ternyata janji yang mereka terima tak terwujud. Yubel dan Hana pun memutuskan kembali ke Indonesia dan tiba di Biak pada 23 September 2008.

Setelah kembali ke Tanah Air, Hana Gobay dan Yubel Kareni melaporkan kondisinya ke Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi I DPR-RI untuk meminta perlindungan dan meminta jaminan untuk melanjutkan pendidikan yang terputus saat lari ke Australia serta bisa terbebas dari tekanan pihak lain. Hana Gobay, seorang perempuan asal Merauke, mengatakan, saat meninggalkan Papua, pada 2005, dia adalah mahasiswa semester VII pada sebuah perguruan tinggi di Manado, Sulawesi Utara. Dia memutuskan pergi ke Australia karena diimingi oleh pentolan Organisasi Papua Merdeka (OPM), Herman Wanggai, karena dijanjikan melanjutkan kuliah di Australia. Informasi tersebut disebarkan melalui gereja-gereja. Tetapi, setelah sampai di Australia, ternyata mereka tidak bisa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di negeri itu. Mereka hanya mendapat kursus bahasa Inggris gratis yang diikuti oleh semua pencari suaka politik saat itu.

Menindaklanjuti hal tersebut, Komnas HAM, dalam suratnya tertanggal 20 Oktober 2008 dan ditandatangani anggotanya, Johny Nelson Simanjuntak, meminta Gubernur Papua Barnabas Suebu untuk memberikan perlindungan kepada Hana Gobay dan Yubel Kareni. Dengan demikian, mereka dapat melanjutkan pendidikan dan bebas dari tekanan pihak lain.

Dalam “statement of fact” (surat pernyataan fakta) Siti Wainggai dari Port Villa, Vanuatu, tertanggal 27 November 2008, yang ditandatangani Siti dan diberi stempel resmi “Trans-Melanesian Lawyers” warna merah itu, terungkap keinginannya untuk pulang ke Jayapura karena putri tertua mereka yang tinggal di Jayapura sedang sakit keras karena komplikasi paru-paru dan pihak keluarga memintanya pulang untuk merawatnya. “Suami saya dan saya memutuskan untuk pulang setelah lama sekali menanti status pengungsi tidak kunjung datang dari pemerintah Australia, serta perpisah saya dari keluarga lebih dari tiga tahun,” kata Siti dalam suratnya itu.

Istri Yunus Wanggai berada di Vanuatu setelah dijanjikan oleh Herman Wanggai dan kelompoknya akan diberangkatkan ke Australia untuk bergabung dengan suaminya. Namun janji tersebut lagi-lagi ternyata tidak dapat dipenuhi Herman. Sebagai bagian dari tanggung jawab untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya, Pemerintah Indonesia telah menanggapi secara positif permintaan Siti Wanggai untuk berkumpul kembali bersama suami dan puterinya. Pemerintah melalui koordinasi dengan Pemerintah Vanuatu, telah memfasilitasi kepulangan yang bersangkutan ke Tanah Air.

Menurut Siti Padera, perpisahan dirinya dari suami dan anaknya, itu bisa terjadi lantaran ditipu oleh Herman Wanggai, untunglah berkat pertolongan dari KBRI sehingga dirinya bisa kembali bertemu dengan suami dan anaknya, bahkan dirinya mengaku akibat mencari suami dan anaknya, dirinya juga sempat lari ke PNG. “Dia (Herman Wanggai) menipu kami sehingga kami berpisah, suatu hal yang sangat menyakitkan, namun kami bersyukur dapat kembali bertemu. Saya tidak ingin kejadian ini terulang lagi, kami sudah tidak percaya lagi dengan Herman Wanggai, kami ingin tetap hidup aman di Indonesia,”jelasnya.

Ancaman Herman

Kembalinya sebagian warga Papua yang berada di Australia ke Indonesia memicu emosi Herman Wainggai, dan mengancam Hana Gobay dan Yubel yang disampaikan melalui milis yahoogroups dan milis WPNA. Dalam surat bertajuk “SIMPA” 2 WNI kembali ke Indonesia !” tertanggal 23 Sep 2008 itu, Herman Wainggai mengatakan, keduanya adalah musuh bersama para pendukung Papua Merdeka. “Ade Hana Gobay dan Jubel Kareni, kaka Herman cuma ucapkan selamat atas pengkhianatanmu.”

Dengan demikian, kepulangan empat orang WNI asal Papua itu merupakan fakta bahwa Herman Wanggai merupakan penjerumus orang Papua dan hanya untuk menghancurkan masa depan Papua. Herman Wanggai kini tengah kebakaran jenggot karena istrinya yang telah dicerai meminta untuk kembali ke Papua bersama kedua anak kembarnya. Mereka sudah tidak tahan dengan perlakuan kasar Herman Wanggai yang sering memukul dan mengancam untuk membunuhnya. Herman Wanggai juga menceritakan kepada teman-temannya untuk tidak mendekat dengan Istrinya, karena sudah tidak waras (gila) dan seperti pelacur. Perlakuan tersebut membuat kedua anak dan istrinya takut untuk tinggal di Australia sehingga memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Kedua anaknya menyebut Herman Wanggai sebagai “Hellboy” (sosok monster yang menyeramkan.

Mengupas kebohongan Herman Wanggai

Kepulangan Dua Warga Negara Indonesia (WNI) asal Papua, Yunus Wainggai dan putrinya, Anike Wainggai, ke Indonesia, 29 Nopember 2008, setelah hampir tiga tahun berada di Australia, merupakan sepenggal kisah manusia perahu yang merupakan korban Herman Wanggai (penyelundup manusia dan menelantarkannya di Australia). Dalam perjuangannya kembali ke Indonesia, Yunus telah mendatangi Kedubes RI di Canberra Australia, 17 Nopember 2008 dan menyampaikan permintaannya agar KBRI dapat memfasilitasi niatnya untuk kembali ke Tanah Air bersama puterinya, Anike Wainggai. Kerinduan, untuk bertemu dan berkumpul kembali dengan keluarganya merupakan alasan utama kepulangan Yunus dan Anike Wainggai. Yunus telah terlalu lama menunggu janji Herman Wanggai untuk memulangkannya serta mengganti kerugian perahunya. Yunus, yang dijanjikan Herman Wanggai akan dipulangkan setelah enam bulan dan semua kerugiannya akan diganti ternyata semua itu bohong. Yunus mengaku tidak tahu bahwa tujuan mereka ke Australia hanya dimanfaatkan oleh Herman Wainggai dan kelompoknya, untuk tujuan politik separatisme. Menyusul kembalinya ayah dan anak tersebut, istri Yunus Wanggai pada 16 Desember 2008 dari Vanuatu tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Saat itu Siti langsung berlari memeluk Anike sambil menitikkan air mata karena telah sekian lama dan kini dalpat berkumpul dengan seluruh keluarganya kembali.

Kepulangan Yunus Wainggai, Siti Pandera dan putrinya itu merupakan kepulangan yang kedua dari kelompok yang menamakan dirinya pencari suaka, menyusul kepulangan Hana Gobay dan Yubel Kareni. Karena merasa dibohongi, diterlantarkan, oleh Herman Wanggai., Hana Gobay dan Jubel Kareni kembali lalu meminta bantuan ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Melbourne dan Departemen Luar Negeri Indonesia pada 23 September 200, untuk bisa kembali ke Indonesia.

Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Departemen Luar Negeri (Deplu) Teguh Wardoyo mengatakan, Yunus Wanggai kembali ke Indonesia atas kehendaknya sendiri dan tidak ada tekanan serta paksaan apapun atau dari siapapun kepada Yunus Wanggai untuk kembali ke Tanah Air tercinta Indonesia setelah mencari suaka politik di Australia selama tiga tahun sejak tahun 2006. Deplu melalui KBRI di Australia hanya memberikan perlindungan dan memfasilitasi kepada Warga Negara Indonesia yang berkeinginan untuk kembali ke Indonesi.

Juru bicara Departemen Luar Negeri (Deplu) Teuku Faizasyah. menyatakan, dugaan yang mengatakan bahwa ada campur tangan intelijen Indonesia dalam kepulangan tersebut adalah tidak berdasar. “Keinginan mereka untuk pulang bersifat sukarela. Tanpa ada paksaan. kepulangan mereka akumulasi dari kekecewaan dan frustrasi terhadap Herman Wanggai, yang telah membohongi dan merampas uang mereka dengan memberi janji-janji indah jika sesampainya di Australia.

Tuduhan Herman Wanggai yang menyatakan intelijen terlibat dalam kepulangan Yunus Wanggai dibantah oleh aktivis OPM di Vanuatu, Andy Ayamiseba. Menurut Andy Ayamiseba keinginan Yunus, Anike, dan Siti Wanggai (istri Yunus yang menetap di Vanuatu) untuk pulang ke Indonesia murnia dari keinginannya sendiri karena kecewa dengan Herman Wanggai.

Sementara urusan Yunus dan istrinya dengan KBRI Canberra, Andy Ayamiseba melihatnya sebagai “urusan mereka sendiri (yang) disaksikan oleh Australian Authorities (pejabat pemerintah Australia) dan Pengacara Yunus sendiri.” Menurut Andy, pihak yang mewawancarai Siti Wainggai di Vanuatu adalah petugas Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) yang didampingi penerjemah berbahasa Indonesia, serta kepala imigrasi Vanuatu.

Bukti kebohongan Herman Wanggai

Merasa dibohongi, dua orang WNI pencari suaka di Australia, Hana Gobay dan Yubel Kareni akhirnya mendatangi Komisi I DPR.-RI, dan menceritakan semua kejadiannya sebagai berikut :

Saat keberangkatan untuk mencari suaka ke Australia tahun 2006 yang lalu, 43 warga itu membayar uang sebesar Rp 7 juta. Dan, keberangkatan itu merupakan kebohongan dan konspirasi politik orang-orang tertentu yang tidak senang dengan Indonesia. Intinya, mereka dijanjikan mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak. Namun setelah sampai di Australia, ke-43 warga itu berpisah dan ternyata janji yang mereka terima tak terwujud. Yubel dan Hana pun memutuskan kembali ke Indonesia dan tiba di Biak pada 23 September 2008.

Setelah kembali ke Tanah Air, Hana Gobay dan Yubel Kareni melaporkan kondisinya ke Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi I DPR-RI untuk meminta perlindungan dan meminta jaminan untuk melanjutkan pendidikan yang terputus saat lari ke Australia serta bisa terbebas dari tekanan pihak lain. Hana Gobay, seorang perempuan asal Merauke, mengatakan, saat meninggalkan Papua, pada 2005, dia adalah mahasiswa semester VII pada sebuah perguruan tinggi di Manado, Sulawesi Utara. Dia memutuskan pergi ke Australia karena diimingi oleh pentolan Organisasi Papua Merdeka (OPM), Herman Wanggai, karena dijanjikan melanjutkan kuliah di Australia. Informasi tersebut disebarkan melalui gereja-gereja. Tetapi, setelah sampai di Australia, ternyata mereka tidak bisa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di negeri itu. Mereka hanya mendapat kursus bahasa Inggris gratis yang diikuti oleh semua pencari suaka politik saat itu.

Menindaklanjuti hal tersebut, Komnas HAM, dalam suratnya tertanggal 20 Oktober 2008 dan ditandatangani anggotanya, Johny Nelson Simanjuntak, meminta Gubernur Papua Barnabas Suebu untuk memberikan perlindungan kepada Hana Gobay dan Yubel Kareni. Dengan demikian, mereka dapat melanjutkan pendidikan dan bebas dari tekanan pihak lain.

Dalam “statement of fact” (surat pernyataan fakta) Siti Wainggai dari Port Villa, Vanuatu, tertanggal 27 November 2008, yang ditandatangani Siti dan diberi stempel resmi “Trans-Melanesian Lawyers” warna merah itu, terungkap keinginannya untuk pulang ke Jayapura karena putri tertua mereka yang tinggal di Jayapura sedang sakit keras karena komplikasi paru-paru dan pihak keluarga memintanya pulang untuk merawatnya. “Suami saya dan saya memutuskan untuk pulang setelah lama sekali menanti status pengungsi tidak kunjung datang dari pemerintah Australia, serta perpisah saya dari keluarga lebih dari tiga tahun,” kata Siti dalam suratnya itu.

Istri Yunus Wanggai berada di Vanuatu setelah dijanjikan oleh Herman Wanggai dan kelompoknya akan diberangkatkan ke Australia untuk bergabung dengan suaminya. Namun janji tersebut lagi-lagi ternyata tidak dapat dipenuhi Herman. Sebagai bagian dari tanggung jawab untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya, Pemerintah Indonesia telah menanggapi secara positif permintaan Siti Wanggai untuk berkumpul kembali bersama suami dan puterinya. Pemerintah melalui koordinasi dengan Pemerintah Vanuatu, telah memfasilitasi kepulangan yang bersangkutan ke Tanah Air.

Menurut Siti Padera, perpisahan dirinya dari suami dan anaknya, itu bisa terjadi lantaran ditipu oleh Herman Wanggai, untunglah berkat pertolongan dari KBRI sehingga dirinya bisa kembali bertemu dengan suami dan anaknya, bahkan dirinya mengaku akibat mencari suami dan anaknya, dirinya juga sempat lari ke PNG. “Dia (Herman Wanggai) menipu kami sehingga kami berpisah, suatu hal yang sangat menyakitkan, namun kami bersyukur dapat kembali bertemu. Saya tidak ingin kejadian ini terulang lagi, kami sudah tidak percaya lagi dengan Herman Wanggai, kami ingin tetap hidup aman di Indonesia,”jelasnya.

Ancaman Herman

Kembalinya sebagian warga Papua yang berada di Australia ke Indonesia memicu emosi Herman Wainggai, dan mengancam Hana Gobay dan Yubel yang disampaikan melalui milis yahoogroups dan milis WPNA. Dalam surat bertajuk “SIMPA” 2 WNI kembali ke Indonesia !” tertanggal 23 Sep 2008 itu, Herman Wainggai mengatakan, keduanya adalah musuh bersama para pendukung Papua Merdeka. “Ade Hana Gobay dan Jubel Kareni, kaka Herman cuma ucapkan selamat atas pengkhianatanmu.”
Dengan demikian, kepulangan empat orang WNI asal Papua itu merupakan fakta bahwa Herman Wanggai merupakan penjerumus orang Papua dan hanya untuk menghancurkan masa depan Papua. Herman Wanggai kini tengah kebakaran jenggot karena istrinya yang telah dicerai meminta untuk kembali ke Papua bersama kedua anak kembarnya. Mereka sudah tidak tahan dengan perlakuan kasar Herman Wanggai yang sering memukul dan mengancam untuk membunuhnya. Herman Wanggai juga menceritakan kepada teman-temannya untuk tidak mendekat dengan Istrinya, karena sudah tidak waras (gila) dan seperti pelacur. Perlakuan tersebut membuat kedua anak dan istrinya takut untuk tinggal di Australia sehingga memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Kedua anaknya menyebut Herman Wanggai sebagai “Hellboy” (sosok monster yang menyeramkan).

Clifton/WPT

Maret 23, 2010 - Posted by | Prominent Figures |

2 Komentar »

  1. Charismatic leader being groomed for greatness

    IN HERMAN Wainggai, the struggling West Papuan independence movement may have the articulate young leader it needs to get its message across to the mainstream.

    Under constant siege by the Indonesian military and riven by factionalism in recent years, Papuan separatists have failed to make inroads into global consciousness as East Timor’s independence movement did in the 1980s and 1990s.

    While East Timor had Jose Ramos Horta and Bishop Carlos Belo, both Nobel Peace Prize winners, the Papuan cause has suffered without similar spokesmen or women who were credible at home and persuasive abroad.

    Those who have met Wainggai have been universally impressed. “He’s very committed and charismatic and has really good command of English. He’s also really outspoken and forthright in his views,” says Jason Macleod, a PhD student and activist who has interviewed Wainggai twice. “He’s also a strategic thinker. He’s really systematic in the way he demolished the Indonesian case on West Papua.”

    Wainggai has been at the vanguard of the student campaign for Papuan nationhood for the best part of a decade. In 2002, he was arrested and served two years in prison for his role in a ceremony where the Papuan flag, the Morning Star, was raised at Cenderawasih University in Abepura.

    His uncle, Thomas Wainggai, died in prison after being arrested for his pro-independence views and his role in raising the Morning Star.

    On his release in 2004, Wainggai resumed his protest activities and was clearly earmarked for greater things. He has studied at the University of Sydney’s Centre for Peace and Conflict Studies and chosen to do a diplomacy course run by the Pacific Concerns Resource Centre in Fiji.

    “He should adjust well to his new situation in Australia,” the Fijian centre’s associate director, Rex Rumakiek, says.

    For Papau’s independence push, much hinges on the application by Wainggai and his comrades for refugee status. It is no surprise that Indonesia has been so quick to vigorously oppose their asylum claims.

    Komentar oleh melan kapisa | Maret 23, 2010 | Balas

  2. Journey of hope

    In January 2006, 42 West Papuans landed in Cape York Peninsula to seek asylum. Jessica Letch talks to Herman Wainggai about the journey and his future.

    With experienced seafarers on board, West Papuan independence activist Herman Wainggai expected his voyage to Australia to take 16 hours. But for four days, Herman and his group had to survive on storm water decanted from tarpaulins.

    ‘The journey was full of risk because there was a storm, and one engine broke, and that’s why the canoe is turning in circles,’ Herman says. ‘And then after one day we didn’t see the mainland or any island and people start to feel hungry.’
    Herman Waingai left West Papua in 2006 to seek asylum in Australia.

    Herman Waingai left West Papua in 2006 to seek asylum in Australia.

    But eventually land was sighted. ‘Six people just swam to the shore and then looked at the sign board,’ Herman says. ‘They looked at the kangaroo and emu – something Australian Government – then they wave to me. They say ‘Oh Herman, we are already in Australia,’ and then we start to cry.’

    Herman’s family had urged him to leave. ‘They encourage me: ‘Herman, it’s better you go, not to stay in Papua, it’s not safe’ That’s why I decided to come to Australia, because I don’t want to be arrested for the third time. I don’t want to have [an] experience like my uncle and die in prison,’ Herman says.

    After reaching land, the West Papuans spent a night on a Cape York riverbank. ‘We landed late afternoon, nearly dark. Early morning we looked around and crocodiles just swim.’ Herman motions with his hands the movement of crocs sliding into the water around them. After the alert was raised by activists back home, ‘Australian authorities they came: customs, Australian Federal Police, navy, including journalists. They brought us food and drink and started questioning us.’

    After confirming that the group was seeking asylum, the authorities transferred the West Papuans to Christmas Island. ‘They took us with helicopter, ten hours from Cape York. We arrived at the detention centre in the middle of the night. Then they divide us into two groups — families, young boys separate, not in detention centre but in [the] community. The [single] adult people stay inside the detention centre.’

    After two months on Christmas Island, Herman and his group were granted temporary protection and settled in Melbourne. ‘We got a lot of help from Red Cross. They organised the accommodation, health and English course,’ Herman says. ‘They explained how to get to school, and how to get the tram — this is a tram ticket, and if you’re sitting on the seat you need to stand up to give the elder people priority to sit. And how to use the mobile phone, to say hello to my parents.’

    This year, Herman received permanent residence in Australia, but home is never far from his mind. ‘I miss my friends, living as a community. I miss my mum and my dad. They’re lovely parents’ says Herman, who continues to campaign for the independence of West Papua. ‘Freedom of speech is one thing I really enjoy in Australia. I want my people to live in their own land without fear of any kind. As a political activist I don’t feel like going back is the right decision for today.’

    Jessica Letch has worked with Red Cross for 10 years supporting refugees, asylum seekers and separated families in Australia and abroad.

    According to figures for May 2009, there are 340 detainees on Christmas Island, and 30 living in community detention arrangements.

    Australian Red Cross manages the Department for Immigration and Citizenship funded Community Detention Program on Christmas Island. Red Cross caseworkers assist with housing, income support, health care, mental health, recreation and orientation.

    There’s a certain assessment criteria based on vulnerability. Generally speaking, referral occurs if you’re a family or if you have a history of torture and trauma, or health or mental health needs that can’t be met within the Immigration Detention Centre.

    Red Cross also operates the Immigration Detention program on Christmas Island. Humanitarian observers who monitor practices across detention network facilities around Australia visit the island every five weeks to raise any issues of humanitarian concern in regard to the conditions and treatment of detainees.

    Komentar oleh melan kapisa | Maret 23, 2010 | Balas


Tinggalkan komentar